SEKILAS ‘Kritik Terjemahan’

Oleh Sudarya Permana

Untuk memahami kritik terjemahan, kita bisa beranalogi dengan kritik sastra yang ada pada dunia kesusastraan. Kritik sastra adalah penilaian mengenai baik buruknya sebuah karya sastra serta dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Orang yang melakukan kritik sastra dinamai kritikus sastra. Di antara kita barangkali tidak asing lagi dengan nama-nama seperti H. B. Jassin atau Sutan Takdir Alisjahbana, atau bahkan A. Teeuw. Mereka adalah beberapa contoh kritikus sastra termashur yang pernah malang-melintang dalam percaturan kesastraan Indonesia.

Begitupun dengan kritik terjemahan. Suatu kritik terjemahan merupakan pertimbangan tentang baik buruknya suatu karya terjemahan ditinjau dari aspek keberterimaannya dalam masyarakat bahasa sasaran, baik dari segi kebahasaan murni maupun aspek sosial kebudayaan. Sasaran dari suatu kritik terjemahan adalah adanya perbaikan mutu terjemahan yang bersangkutan. Hal ini diakibatkan suatu prinsip dalam penerjemahan bahwa ‘semua terjemahan pada dasarnya bersifat nisbi’. Artinya, hasilnya masih bisa diperdebatkan bergantung pada ‘idiologi’ yang dianut oleh setiap penerjemah.

Di samping itu, mengingat keunikan yang ada pada setiap bahasa, tidak pernah ada terjemahan yang sanggup mengalihkan pesan secara sempurna dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Kalau ditelaah secara terperinci, biasanya, masih mungkin ditemukan lubang-lubang yang masih bisa diperbaiki. Karena itu, mesti ada kritik agar terjemahan menjadi lebih baik sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Sehubungan kritik terjemahan, Peter Newmark menjelaskan hal tersebut dalam bukunya yang berjudul “A Textbook of Translation”. Buku ini terbit pada tahun 1988 sehingga dapat dikatakan bahwa buku itu kini sudah mulai memasuki usia klasik (paling tidak bagi mereka yang menyukai sumber-sumber bacaan seumur balita alias di bawah lima tahun).

Dalam buku itu, dijelaskan bahwa tantangan terbesar bagi seorang kritikus terjemahan terletak pada kemampuannya menyatakan prinsip-prinsip penerjemahan yang diyakininya secara jelas dan pasti, dan dalam waktu yang bersamaan mampu mengulas prinsip-prinsip yang digunakan sang penerjemah dalam terjemahan itu, baik yang selaras dengan prinsip dirinya maupun yang tidak. Dalam kaitan ini, menurut Newmark, sebuah kritik terjemahan yang baik harusnya bersifat historis dan dialektik, bahkan Marxsis. Ini artinya mesti terjadi paparan yang bersifat dialogis, namun kritis dengan mengedepankan penalaran yang bisa diterima secara keilmuan.

Menurut Newmark, untuk mencapai kritik terjemahan yang demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan para kritikus terjemahan. Beberapa di antaranya adalah melakukan analisis secara cermat terhadap teks sumber, mengenali maksud dan sikap penerjemah, membandingkan terjemahan dengan teks aslinya, dan memberikan penilaian atas terjemahan.

Dalam Stomata edisi kali ini, saya mencoba memberikan ulasan perihal kritik terjemahan ini. Pembahasannya diusahakan dikaitkan dengan contoh nyata (biar tidak terkesan sekadar teori). Dan, ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan Newmark bahwa kritik terjemahan sesungguhnya merupakan suatu penghubung antara teori dan praktik dalam penerjemahan. Contoh-contoh sebagian besar diambil dari tugas mahasiswa dalam perkuliahan penerjemahan.

Dalam ulasan kritik terjemahan ini, saya mengacu pada apa yang disarankan Newmark tentang bagaimana menilai sebuah terjemahan. Menurutnya, suatu terjemahan setidak-tidaknya dapat dipandang dari empat sifat, yaitu sebagai suatu ilmu (science), kiat (craft), seni (art), dan selera (taste).

Sebagai suatu ilmu, penerjemahan berkenaan dengan betul-salah dalam pengalihan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Jadi, ini adalah persoalan kebahasaan murni. Di sini dapat dilihat apakah pesan yang dialihkan itu sesuai atau tidak berdasarkan kriteria kebahasaan. Misalnya, pada salah satu soal ujian terdapat judul teks sebagai berikut: ‘Sixth Mers death in South Korea amid sharp rises in cases’ yang diterjemahkan oleh seorang mahasiswa menjadi ‘Virus Mers yang diderita oleh enam orang di Korea Selatan di tengah kenaikan tajam kasus ini’. Dalam hal ini, kelompok kata benda ‘Sixth Mers death’ dipadankan dengan ‘Virus Mers yang diderita oleh enam orang’. Tentu saja pemberian padanan ini tidak tepat. Mestinya, pemadanannya adalah ‘Kematian keenam yang disebabkan oleh virus Mers’ atau lebih singkat lagi ‘Kematian keenam oleh virus Mers’ atau bahkan lebih idiomatis lagi ‘Korban tewas keenam Mers’.

Kesalahan mendasar yang tejadi dalam terjemahan ini disebabkan adanya ketidaktepatan tata bahasa, yaitu dalam bagian kalimat ‘sixth Mers death’. Penerjemah kurang memahami penggunaan kata bilangan pokok dan urutan dalam bahasa Inggris. Dalam konteks ini, ‘sixth’ adalah kata bilangan urutan sehingga diterjemahkannya ‘keenam’ bukan ‘enam’.
Ketidaktepatan terjemahan yang diakibatkan masalah yang sama di atas, terjadi juga oleh mahasiswa yang sama pada penerjemahan bagian teks lainnya, yaitu kelompok kata benda ‘a sixth person’. Dalam hal ini, sang mahasiswa menerjemahkannya ‘enam orang’. Padahal, mestinya adalah ‘orang keenam’.

Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut memang betul-betul tidak mengerti konsep ‘cardinal & ordinal number’ dalam bahasa Inggris. Inilah yang dimaksud bahwa seorang penerjemah ‘mutlak’ harus menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran secara seimbang agar terjemahannya berterima. Ini diperoleh salah satunya melalui penguasaan tata bahasa yang mumpuni, baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran.

Sementara itu, sebagai suatu kiat, penerjemahan merupakan suatu upaya untuk mencapai padanan yang cocok dan memenuhi aspek kewajaran dalam bahasa sasaran. Oleh sebab itu, sehubungan dengan ini, kreativitas penerjemah dalam ‘berolah kata’ menjadi penting. Dengan kata lain, harus ada rekayasa kebahasaan untuk menghasilkan padanan yang sesuai.

Biasanya ini dilakukan melalui pergeseran bentuk-bentuk kebahasaan, misalnya perubahan kata benda menjadi kata kerja atau sebaliknya. Pesan yang dalam bahasa sumbernya berbentuk kata benda dapat dinyatakan dalam kata kerja dalam bahasa sasaran sehingga dirasa lebih luwes ketimbang mempertahankan bentuk aslinya.

Namun demikian, tentu saja rekayasa kebahasaan ini mesti memperhatikan kaidah-kaidah penerjemahan sehingga tidak melenceng jauh dari teks aslinya. Terkait dengan ini, perhatikan kembali contoh penerjemahan judul teks di atas. Salah seorang mahasiswa lain memberikan padanan sebagai berikut: ‘Korban ke-6 Mers tewas di Korea Selatan di tengah peningkatan tajam kasus tersebut’.

Meskipun masih ditemukan kekurangan, dibandingkan terjemahan sebelumnya, terjemahan ini dinilai lebih baik. Akan tetapi, terjemahan tersebut barangkali masih bisa diperbaiki lagi, misalnya dengan mengganti kata ‘peningkatan’ dengan ‘meningkatnya’ atau bahkan mengubahnya dengan kata ‘maraknya’ sehingga terasa lebih hidup dan wajar.Terdapatnya kiat penerjemahan pada judul teks di atas sebetulnya tampak juga pada penerjemahan yang pertama, yaitu memadankan ‘Mers’ (satu kata) dengan ‘virus Mers’ (dua kata). Ini menandakan penerjemahnya memiliki pengetahuan bahwa mers itu adalah penyakit berjenis virus.

Masih terkait dengan kiat dalam penerjemahan, seorang mahasiswa melakukan pergeseran bentuk untuk mengalihkan pesan yang terkandung dalam bagian teks berikut: “Access to the cave is by way of a suspension bridge. The uniqueness of approach, as well as the experience of walking along the bridge, makes a visit to this place an intriguing and adventurous experience”.

Teks ini diterjemahkan mahasiswa demikian: “Jalan masuk ke dalam gua adalah dengan melewati jembatan gantung. Keunikan dari mendekati gua seperti ini, selain pengalaman menyebrangi jembatan gantung, membuat mengunjungi tempat ini menjadi pengalaman yang menarik dan penuh petualangan”.

Dari terjemahan ini, dapat diketahui bahwa kelompok kata benda ‘The uniqueness of approach’ dalam teks sumber dipadankan dengan ‘Keunikan dari mendekati gua seperti ini’ dalam teks sasaran. Di sini, kata benda bahasa Inggris ‘approach’ diubah ke dalam kata kerja bahasa Indonesia ‘mendekati’. Hal ini, meskipun secara umum terjemahan masih terdapat kelemahan, membuat terjemahan menjadi luwes dan wajar dibandingakan harus mempertahankan bentuk aslinya, yaitu ‘pendekatan’. Pergeseran bentuk semacam ini semata-mata merupakan upaya penerjemah agar terjemahannya berterima.

Dalam pada itu, sebagai suatu seni, penerjemahan dipandang tidak semata-mata sebagai suatu bentuk pengalihan pesan, tetapi juga proses “penciptaan”.  Dalam hal ini, penerjemah berupaya sedemikian rupa untuk mencari padanan yang sesuai dengan adat dan budaya bahasa sasaran.

Lazimnya, penerjemahan jenis ini terjadi dalam penerjemahan karya sastra atau tulisan-tulisan yang bersifat liris yang seringkali kata-katanya memiliki makna tersirat. Dalam konteks inilah terkadang penerjemah mesti melakukan “penciptaan” baru terhadap teks yang diterjemahkannya.
Tidak jarang penciptaan baru ini menimbulkan kesan sebagai karya asli penerjemahnya. Apalagi jika pembacanya tidak mengenal teks sumbernya. Sebagai contoh, dalam penggalan puisi ‘Present I flee you, absent you are near’, ungkapan ‘you are near’ nampaknya memiliki makna tersirat.

Dalam hal ini, penerjemah dituntut untuk memiliki kreativitas dalam mengalihkan pesan yang terkandung dalam ungkapan itu. Beberapa kemungkinan terjemahan yang bisa dihasilkan, misalnya: ‘Bila kau dekat, kuingin jauh darimu, bila kau jauh, kuingin kau dekat denganku’ atau ‘Bila kau dekat, kumenjauh, bila jauh, kuingin kau di sini’ atau ‘Dekat kujauhi, jauh kudekati’ atau … Jadi, terdapat beberapa kemungkinan versi terjemahan sesuai dengan kreativitas penerjemahnya.
Contoh lain berkenaan dengan penerjemahan sebagai seni, dapat dilihat dari terjemahan penggalan puisi yang berjudul ‘Death of A Whale’ karya John Blight ke dalam ‘Matinya Seekor Ikan Paus’ oleh penyair Goenawan Mohamad berikut ini:

When the mouse died, there was a sort of pity:
Ketika tikus itu mati, ada rasa belas di hati:

the tiny little creature made for grief:
Hewan kecil lentik yang menyedihkan ini!

Yesterday, instead, the dead whale on the reef:
Kemarin, tapi, ikan paus yang mati di pantai

drew an excited multitude to the jetty:
mengundang orang berdatangan ramai.

Pada penggalan puisi dan terjemahannya di atas, dapat dilihat bahwa pola rima teks asli adalah a-b-b-a, sedangkan pola rima teks terjemahan adalah a-a-b-b. Dalam hal ini, terjadi “penciptaan baru” yang terkesan sebagai karya asli dari penerjemahnya. Hal ini dilakukan penerjemah semata-mata untuk mendapatkan padanan yang berterima dalam bahasa sasaran sebagai wujud dari proses kreatifnya dalam berolah kata.

Sebagai suatu selera, penerjemahan dianggap sebagai hal yang bersifat pribadi dalam mengungkapkan pilihan kata terhadap padanan yang diberikan selama maknanya tidak menyimpang dari teks aslinya. Misalnya, kata ‘however’ dapat dipadankan dengan kata ‘namun’ atau ‘akan tetapi’ karena kedua kata ini memiliki makna yang tidak berbeda. Ini merupakan selera dari penerjemahnya.

Namun demikian, selera pribadi ini sebaiknya tetap harus memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan yang sudah disepakati bersama, terutama dalam bahasa tulisan, sehingga tidak melanggar konvensi-konvensi yang secara umum berlaku dalam dunia kepenulisan.

Sehubungan selera dalam penerjemahan, penggalan teks pendek berikut ini ‘When George Jones finished college, he became a clerk in a big company’ diterjemahkan secara berbeda oleh mahasiswa, khususnya untuk kata ‘when’dan ‘clerk’. Namun begitu, masing-masing padanan yang dipilih mahasiswa tersebut mengandung pesan yang sama.

Mahasiswa yang satu memberikan terjemahan kalimat itu sebagai berikut: ‘Setelah George Jones menyelesaikan kuliahnya, ia menjadi pegawai di sebuah perusahaan besar’. Sementara itu, mahasiswa yang satunya lagi memberikan padanan sebagai berikut: ‘Ketika George Jones lulus dari kuliah, dia menjadi seorang karyawan di salah satu perusahaan besar’. Dalam hal ini, kata ‘when’ diterjemahkan dengan kata ‘setelah’ dan ‘ketika’, sedangkan kata ‘clerk’ menjadi ‘pegawai’ dan ‘karyawan’.

Kedua terjemahan ini merupakan terjemahan yang berterima dalam bahasa sasaran. Dari konteksnya, kata ‘setelah’ dan ‘ketika’ memiliki pesan yang sama. Begitupun dengan kata ‘pegawai’ dan ‘karyawan’. Pemberian padanan ini semata-mata merupakan pilihan sadar dari mahasiswa yang bersangkutan untuk mencapai terjemahan yang berterima dalam bahasa sasaran.

Kritik terjemahan hakikatnya suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan penerjemahan yang berdampak pada meningkatnya kualitas suatu terjemahan. Melalui kritik terjemahan, penerjemah dan kritikus terjemahan sama-sama belajar bagaimana mengembangkan kemampuan penerjemahannya. Penerjemah mendapatkan balikan-balikan yang terkadang suatu kesalahan yang ada dalam terjemahan tidak terlihat oleh dirinya.

Sementara, kritikus terjemahan juga belajar dari keunggulan-keunggulan yang terkandung dalam terjemahan yang, barangkali ketika dia yang menerjemahkan, luput dari perhatiannya selama proses menerjemahkan. Dapat dikatakan bahwa dalam kritik terjemahan terdapat pemberdayaan penerjemahan. Dalam hal ini, baik penerjemah maupun kritikus terjemahan menjadi berkembang.

Tinggalkan komentar