RIBUT-RIBUT ALA SENIMAN DAN BIROKRAT

113ac0f93ea3278ee6f6447757c0ab46_1280

Oleh Faisal Fathur

Indonesia memang terkenal sebagai negeri yang doyan ribut-ribut. Selalu ada saja kegaduhan yang kerap meramaikan kehidupan orang-orang di Indonesia. Sepertinya jika tidak doyan ribut memang belum dianggap sebagai orang Indonesia. Setiap dari kita sepertinya agak sulit untuk mencapai titik temu ketika mempunyai suatu masalah.

Dari awal tahun hingga pertengahan Juni lalu, pemberitaan santer menyiarkan ribut-ribut antara seniman dengan pegawai pemerintahan. Mereka meributkan persoalan manajemen pengelolaan pada Taman Ismail Marzuki, tempat yang dianggap sebagai kandang dan panggung seniman yang kini telah berubah. Berkat tercetusnya Peraturan Gubernur nomor 109 tahun 2014, pengelolaan yang dahulu dikendalikan oleh Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta TIM kini dialihkan kepada Unit Pelaksana Teknis Pusat Kesenian Jakarta TIM.

Masalah muncul karena Badan Pengelola (BP) yang dahulu digawangi oleh seniman kini berubah haluan kepada Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang notabene berisi PNS. Para seniman merasa akan sulit menyatu dengan cara kerja PNS. Hal itu terlihat dari koar-koar statement yang tak luput dari perhatian publik. Para seniman bilang bahwa birokrat apa mengerti tentang seni? Sebaliknya, orang-orang pemerintahan merasa bahwa pengalihan badan pengelola itu sebenarnya dilakukan demi kebaikan seniman sendiri.

Dahulu, saat masih dibawah Badan Pengelola, TIM memperoleh dana yang berupa hibah dari APBD. Tapi saat Pergub tersebut muncul, sistem hibah tak lagi dipakai. Melainkan akan ada persentase langsung dari APBD yang seharusnya mampu menyenangkan seniman karena proyek kesenian akan mampu berjalan secara konsisten. Unit Pelaksana Tugas lah yang kemudian ditugaskan untuk mengelolanya. Pemerintah juga merasa kucuran dana dari APBD sebelum-sebelumnya tidak menghasilkan sebuah nilai kesenian yang berarti. Ada anggapan bahwa uang yang ada hanya digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan serta peningkatan fasilitas orang-orang di sana.

TIM yang merupakan aset negara menurut Pemerintah harus dikontrol kinerja dan pengawasannya. Dan cara yang ditempuh barang tentu dengan mempekerjakan PNS di sana. Padahal sudah puluhan tahun sejak TIM didirikan oleh Gubernur Ali Sadikin, seniman lah yang hilir berganti mengelola tempat kesenian tersebut.

Berbeda dengan pemerintah, seniman merasa bahwa pengelolaan TIM oleh PNS malah makin memperburuk keadaan. Seniman merasa makin dipersulit ketika ingin berkarya. Di bawah UPT, seniman tidak lagi leluasa dalam menggunakan sarana-sarana yang ada. Belum lagi retribusi dari seniman yang dipungut oleh Unit Pelaksana Teknis. Selain itu, para seniman juga dituntut untuk lebih “bekerja keras” jika ingin berkarya di TIM. Pengurusan kepolisian, izin keramaian, sistem tiket, dan sebagainya kini menjadi persoalan seniman sendiri. Beda ketika di tangan Badan Pengelola yang semua-semua itu menjadi paket yang lebih mudah diurus. Alih-alih membela diri, UPT berkata bahwa hal tersebut sebenarnya dilakukan untuk membuka peluang seniman agar bisa bekerja sama dengan banyak pihak lainnya.

Adapun itu, seniman juga mulai khawatir terhadap fungsi TIM di kemudian hari jika dikelola oleh pihak non seniman. Mereka merasa bahwa ke depannya akan menjadi berbahaya jika dalam TIM malah diadakan kegiatan-kegiatan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kesenian. Rasa-rasanya seniman akan gusar bila di kemudian hari TIM juga dijadikan sebagai tempat resepsi pernikahan, acara wisuda, dan semacamnya.

Bambang Subekti selaku Kepala Badan Pengelola PKJ TIM mengaku sebetulnya tidak bermasalah jika sistem harus diubah. Hanya saja timbul harapan kepada pemerintah untuk tetap serius menanganinya. Harapan tersebut muncul semata-mata karena pemerintah dianggap masih setengah hati mengurus kesenian di Ibu Kota. Hal itu bisa dilihat dari status ketenagakerjaan pegawai BP yang kemudian menjadi tidak jelas. Adakah pegawai BP terdahulu yang tetap dipertahankan atau semuanya dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Keruwetan itu semakin menjadi-jadi karena saat Pergub dimunculkan, seolah UPT belum siap menjalankannya. Status BP yang seharusnya sudah digantikan oleh UPT tidak langsung terjadi dengan alasan masa transisi dan penyesuaian yang justru semakin membingungkan.

Itikad baik dari kedua pihak untuk saling berkomunikasi selama ini tentunya menjadi titik cerah terhadap nasib pengelolaan TIM di masa mendatang. Dialog-dialog yang terus diadakan antara dua pihak yang berseteru juga patut diapresiasi walau keseriusannya masih patut dipertanyakan. Besar harapannya agar ada titik temu yang membuat kegiatan di TIM menjadi optimal dan lebih baik lagi. Hingga jangan sampai ribut-ribut seperti ini kelak malah menjadi tontonan yang lebih menarik dibandingkan pertunjukan kesenian itu sendiri.

Tinggalkan komentar