Karena Kebenaran Tak Perlu Diterjemahkan….

Oleh Larissa Huda

 

downloadJudul Film : The Interpreter
Sutradara : Sydney Pollack
Pemain : Nicole Kidman, Sean Penn, Chaterine Keener, dll.
Tahun : 2005

Nampaknya pekerja bahasa, penerjemah misalnya, memiliki ranah yang hampir sama dengan pekerja seni. Keduanya bersinggungan dalam lingkar rasa, etika dan intuisi yang dibangun dengan kepekaan terhadap hal-hal yang terindra maupun tidak. Fungsinya sama, sebagai perpanjangan tangan dalam nenyampaikan pesan dan makna kepada publik. Keduanya memilki areanya masing-masing meski tidak semua orang berminat terjun ke dalam salah satu ataupun keduanya.

Berbeda dengan Silvia Broome (Nicole Kidman) yang justru sangat menikmati pekerjaannya sebagai penerjemah untuk institusi internasional di New York, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keluar dari tanah kelahirannya seorang diri, perempuan kulit putih keturunan Matobo –sebuah Negara fiktif di Benua Afrika, Silvia menaruh harapan dapan mengubah nasib negerinya lewat jalan diplomasi, lewat bahasa. Silvia bekerja sebagai penerjemah bahasa suku Ku, bahasa kebangsaan Matobo.

Menjadi penerjemah (interpreter) tidak sekedar menerjemahkan atau mengalihbahasakan kata per kata dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Berbeda dengan translator, intrepreter memiliki kesulitan yang lebih tinggi karena dituntut untuk memahami sebuah bahasa dan harus disampaikan ke dalam bahasa lain secara lisan dalam waktu yang teramat singkat. Oleh sebab itu perlu ada kematangan bepikir yang cukup baik serta wawasan terkait bahasa yang akan diterjemahkan. Pendeknya, perlu adanya penyesuaian konteks terhadap dari bahasa sumber ke dalam bahasa target. Beruntung, Silvia adalah keturanan suku Ku yang secara konteks akan jauh memudahkannya dalam menginterpretasikan pesan lisan.

22inte.2.390

Adalah Silvia Broome yang dengan tidak sengaja mendengarkan rencana pembunuhan terhadap presiden Matobo yang akan bertandang ke kantor PBB di New York, Edmund Zumanie. Lahir dari keturunan suku Ku, Silvia tercengang mendengar isi percakapan tersebut lewat suara berbisik, ‘sang Guru takkan meninggalkan ruangan ini hidup-hidup’, yang Silvia pahami bahwa ‘Guru’ mengarah kepada Edmund Zuwanie. Memang, sebelum menjabat sebagai presiden, Zuwanie adalah seorang guru yang dicintai rakyatnya. Cita-cita akan perubahan nasib negeri menjadi hal yang begitu menyanjungkan. Khalayan itu tidak bertahan lama sampai akhirnya sikap Zuwanie berubah menjadi arogan dan cenderung tirani.

Atas insiden ketidaksengajaan Broome mendengarkan rencana konspirasi di ruang penerjemah –yang sialnya tindakannya ketahuan, telah menjadikannya target incaran pembunuhan karena dianggap akan menggagalkan rencana. Merasa terancam, Broome mengirim surel kepada temannya, Felippe, untuk memastikan keadaan saudaranya di Matobo. Silvia juga mengadukannya kepada PBB. Atas informasi Silvia, PBB mengirim agen rahasia untuk menyelamatkan nyawanya. Sayangnya, Tobin Keller (Sean Penn) yang ditugasi justru curiga bahwa semua laporan itu adalah rekayasa mengingat latar belakang Silvia yang berkaitan erat dengan segala sesuatu hal yang terjadi di negara konflik tersebut. Keller menganggap Silvia bermaksud mencari sensasi dan ingin menggagalkan kedatangan Zuwanie.

Edmund Zuwanie telah berkuasa selama 23 tahun. Sayangnya ini tak sejalan dengan kemaslahatan rakyatnya. Justru ia terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, pembersihan etnis, dan genosida. Beberapa lawan politiknya telah seperti Xola dan Kuman-Kuman telah melakukan berbagai perlawanan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Zuwanie menganggap bahwa tindakannya selama ini adalah reaksi atas tindakan terorisme di negaranya. Atas dasar itu ia bermaksud untuk memberikan pidato di Majelis Umum, PBB, New York.

Silvia semakin tersudut ketika ditemukannya sebuah foto keterlibatannya dalam sebuah orasi perlawanan. Keller memastikan bahwa Silvia berdiri berseberangan dengan Zuwanie sehingga berusaha menghalangi kedatangan presiden, yang terkenal akan pistol di tangannya, ke New York.

Terdapat dua latar cerita yang bertolak belakang antara Matobo dan Amerika Serikat. Matobo adalah negara miskin dengan berbagai konflik yang masyarakatnya sulit mendapat kepastian hukum. Selain itu, Matobo juga memiliki kebiasaan untuk tidak menyebut nama orang orang yang telah meninggal. Hal inilah yang menyulitkan Tobin Keller dalam memecahkan masalah. Bahkan kerap Silvia dianggap merekayasa semua keterangan yang ia tutup-tutupi. Sedangkan Amerika Serikat adalah negara adidaya dan terbuka yang di luar segala kontroversinya kerap dijadikan sebagai indikator dan berhak menentukan kelayakan sebuah hukum di suatu negara.

Dibantu Woods (Chaterine Keener), Tobin Keller memusatkan pikirannya untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan dua negara itu. Bagaimanapun juga, nama baik negara akan menjadi taruhannya ketika rencana pembunuhan itu benar-benar terjadi. Belum lagi Amerika Serikat merupakan Negara yang memiliki peran istimewa dalam PBB.

Xola dan Kuman-Kuman adalah lawan politik Zuwanie yang dituduh sebagai dalang serangan terorisme di Matobo. Namun, setelah kematian Xola dan kemudian Kuman-Kuman dalam waktu dekat membuat PBB berpikir keras untuk mengurai benang kusut. Dalang rencana pembunuhan ini berdiri pada sisi yang dipertanyakan.

Hal yang menarik adalah bagaimana bahasa dapat menyinggung hal-hal kecil terkadang banyak yang tidak sadar ada di sekitar kita. Sederhananya, saat Silvia berada dalam bus di Brooklyn, ia menarik perhatian Kuman-Kuman saat ia tiba-tiba mengumpat dalam bahasa Ku. Di daerah yang mana Kuman-Kuman sebagai minoritas, ia tercengang ketika ada orang lain selain dirinya menggunakan bahasa ibu suku Ku. Hingga akhirnya ia antusias ingin menyapa dan mencari tahu siapa Silvia.

Hal serupa bisa terjadi dalam kasus yang berbeda. Bisa diambil contoh lain, ketika sedang berada di dalam sebuah konferensi internasional di Indonesia (misalnya) yang dipastikan tidak akan menggunakan bahasa indonesia, lalu kemudian ada dari salah satu pembicara asing yang tiba-tiba mengucapkan kata ‘selamat pagi’ atau ‘terima kasih’, secara refleks para peserta akan lebih antusias menjawab salam pembicara asing tersebut dibanding hanya sekedar mengucakan ‘good morning’ atau ‘thank you’. Dari kejadian tersebut terjadi sama antusiasnya seperti menyapa ‘teman lama’.

Selain itu, bahasa juga memainkan peran dalam diplomasi. Jalan yang dipilih Silvia untuk menyelamatkan tanah kelahirannya. Datang ke Amerika, bekerja lewat bahasa.

“Aku meninggalkan Afrika tanpa apa-apa. Tanpa saudara, tanpa keluarga, tanpa kekasih, tak punya apa-apa. Hanya bermodalkan kepercayaan bahwa kata-kata dan kasih sayang adalah cara yang lebih baik. Sekalipun itu lebih lambat dari peluru.”

Kata-kata ia yakini dalam Biografi Edmund Zuwanie bahwa suara lebih didengar dalam sebuah perang. Sayangnya, kekuasaan telah menutup mata dan telinga presiden Matobo. Telah banyak menjadi korban atas tindakannya yang tirani. Setelah kematian Felipe serta berita kematian saudaranya yang baru ia dengar, Silvia geram, sehingga ia benar-benar ingin membunuhnya. Adegan menarik lainnya ketika Silvia akhirnya menyandera Zuwanie dan memaksanya membaca tulisnya yang sempat Silvia yakini.

“Suara tembakan di sekitar kita membuat semua tak lagi jelas didengar. Tapi suara manusia berbeda dari suara lainnya. Suara itu dapat didengar lebih dari suara lainnya yang terkubur. Sekalipun tidak sedang berteriak. Sekalipun hanya sebuah bisikan. Bahkan bisikan terlemah dapat didengar di antara kerumunan tentara. Saat kebenaran muncul.

Lewat alur cerita film ini membawa ‘The Interpreter’ berujung pencekalan penayangan film di Negara Zimbabwe karena dianggap memprovokasi pemerintahannya. Beberapa poin yang merujuk pada negara tersebut, seperti lamanya berkuasa Presiden, sebagai salah satu negara yang miskin di Afrika, sampai penggunaan simbol negara dengan corak bendera yang hampir mirip. Di luar kontroversinya, film ini pantas turut meramaikan dunia perfilman yang mengangkat tema kerumitan bahasa dan kata-kata. Untuk meramaikan hari Penerjemahan sedunia, 30 September lalu, ‘The Interpreter’ menyajikan wawasan segar bahwa bahasa tak sesederhana yang kita kira.

Tinggalkan komentar