Membumikan Literasi

Lutfy Mairizal Putra

Sore itu udara berhembus sejuk. Beberapa mahasiswa satu per satu keluar dari kelas perkuliahan. Mereka berkumpul di Puri Lingua, nama sebuah pendopo untuk berbagai aktivitas kegiatan mahasiswa. Namun kali ini, mereka datang bukan untuk bernyanyi atau bermain kartu. Ada yang lebih menarik dari itu. Hari itu (19/3) diadakan acara apresiasi buku kumpulan puisi berjudul Kacamata karya Rahmat Mustakim.

Rahmat Mustakim adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Karya yang dihasilkan berseberangan dengan bidang studi yang ditempuhnya. Mahasiswa Fakultas Ekonomi yang menulis puisi. Oleh karena itu, usaha Rahmat mendapat perhatian dari mahasiswa Fakultas lainnya.

Diskusi apresiasi buku Kacamata tak hanya dihadiri oleh mahasiswa yang menempuh studi kebahasaan. Mahasiswa yang tak memiliki sangkut paut dengan bahasa pun satu persatu berdatangan. Mahasiswa dari Jurusan Geografi, Teknik Mesin, dan Pendidikan Luar Biasa ikut memenuhi Puri Lingua.

Iseng

Bagi Rahmat, kegiatan berpusisi – menulis, kritik, dan membaca – tak berbeda dengan belajar di bangku perkuliahan. Semuanya berbicara tentang proses yang secara sabar dilakukan. Jika ditanya mengapa ia menulis puisi, Rahmat hanya menjawab dirinya iseng. “Mengambil jalan lain keluar dari kepenatan dalam kebebasan,” ucap Rahmat.

“Saya percaya menjadi pengusaha kita tak harus berkuliah di Jurusan Ekonomi. Menjadi seorang guru kita tak harus berkuliah di Jurusan Kependidikan. Menjadi penyair pun, kita juga tak harus berkuliah di Jurusan Kepenyairan. Menangnya ada ya?” jelas Rahmat dalam kata pengantar bukunya.

Disini, iseng memiliki konsekuensi yang mandalam. Iseng tak lagi hanya sekedar bermain-main mengisi waktu kosong. Iseng menjadi kegiatan yang serius. Kegiatan itu menjadi penting karena dari situ sebuah karya puisi bisa tercipta.

Pada acara tersebut, kata “apresiasi” sengaja digunakan menggantikan kata “bedah buku” yang biasa digunakan. Bedah buku mengesankan kegiatan serius yang cenderung kaku. “Bedah buku itu kesannya sok ilmiah, elitis. Kita kan mau membumikan literasi. Tak banyak loh yang bisa membedah. Dokter bedah kan sedikit,” ujar Irsyad Ridho sambil tersenyum, salah satu dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, juga salah satu apresiator.

Para apresiator menuliskan pandangannya dari kesan yang dirasakan setelah membaca buku Kacamata. Delapan orang apresiator itu menulis dari berbagai sudut pandang, diantaranya menangkap gejala meta-puisi yang ditulis oleh Irsyad Ridho. Pengalaman dalam proses kreatif bersama penyair dituliskan oleh Rianto. Juga cerita risiko memilih dunia puisi sebagai kerja kreatif tersaji dalam naskah apresiator.

Amar Ar-risalah, salah satu apresiator, sambil berkelakar melihat upaya Rahmat sebagai usaha membangkitkan kembali semangat kesusasteraan aliran Rawamangun. Sebuah kubu yang dulu sempat memberi warna pada dunai kesusasteraan Indonesia. Dari sudut pandang mahasiswa, upaya Rahmat menjadi penegasan kembali tridarma perguruan tinggi yang ketiganya disatukan oleh literasi.

Tinggalkan komentar